Mengenal Indonesia

tari sintren

Tari Sintren: Makna, Sejarah, Cerita, Gerakan, dan Tata Busana

Share this :

Halo Sobat MI! Indonesia menyimpan kekayaan budaya yang sangat beragam. Salah satunya adalah mengenai tarian. Tentu saja, setiap tarian di Indonesia memiliki filosofi dan keunikannya masing-masing. Kali ini, Mengenal Indonesia akan membahas Tari Sintren, salah satu tari tradisional dari Jawa Barat.

Seperti apa sih sejarah dan makna Tari Sintren? Lalu, apa keunikan tari Sintren? Yuk, simak penjelasannya!

Makna

Tari Sintren berasal dari pesisir utara Jawa Barat. Tarian ini cukup dikenal oleh masyarakat di beberapa tempat seperti Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Subang. Selain itu, tarian ini juga sering diperagakan oleh masyarakat di pesisir pantai utara bagian barat Jawa Tengah, seperti Brebes, Pemalang, Tegal, dan Banyumas.

Kesenian Sintren dikenal sebagai tarian mistis dan mempesona yang muncul dari kisah romantis Sulasih dan Sulandono. Istilah “sintren” pada dasarnya merupakan perpaduan dari dua kata yaitu “si” dan “tren”.

Dalam bahasa Jawa, “si” adalah bentuk sapaan yang mengacu pada laki-laki atau perempuan, sedangkan “tren” berasal dari “tri” atau anak perempuan. Oleh karena itu, sintren berarti putri atau pelaku.

Sejarah Tari Sintren

Awalnya, sejarah tari Sintren ini muncul melalui pertemuan-pertemuan para pemuda yang saling berbagi cerita dan saling menyemangati, terutama setelah kekalahan telak dalam Perang Cirebon Besar yang berakhir sekitar tahun 1818.

Menurut tradisi lisan masyarakat Indramayu, ada seorang bernama Seca Branti yang diyakini sebagai abdi Pangeran Diponegoro. Dirinya berhasil melarikan diri dari Belanda setelah berakhirnya perang Diponegoro pada tahun 1830.

Seca Branti menemukan perlindungan di wilayah Indramayu, di mana ia berasimilasi dengan generasi muda dan mengembangkan kegemaran membaca puisi yang berpusat pada konsep perjuangan. Kegiatan pengajian yang ia lakukan akhirnya menarik perhatian penjajah Belanda, yang kemudian melarangnya.

Belanda dengan tegas hanya mengizinkan kegiatan yang berkisar pada pesta pora, prostitusi, dan konsumsi alkohol. Kegiatan yang sama ini juga dilakukan oleh Belanda di dalam keraton Cirebon sebelum berakhirnya Perang Cirebon Besar.

Hal ini mengakibatkan pemanfaatan penari wanita sebagai penyamaran selama pertunjukan. Namun demikian, fokus utama tetap pada syair-syair yang dibacakan oleh dalang sintren, yang dengan penuh semangat didengarkan oleh para pemuda yang berkumpul di sekitarnya.

Oleh karena itu, pada fase ini, beberapa orang mulai mengartikan sintren sebagai sinyo (bahasa Indonesia: pemuda) dan trennen (bahasa Indonesia: berlatih), menandakan pemuda yang giat berlatih.

Selama periode ini, pola sajak yang digunakan oleh dalang sintren tetap konsisten dengan puisi tentang perjuangan. Satu-satunya perbedaan adalah dimasukkannya ronggeng buyung (penari wanita) dalam pertunjukan, yang berfungsi sebagai alat untuk menipu penjajah Belanda.

Selain menggambarkan perjuangan pemuda Cirebon melalui puisi pemberdayaan dalam pertunjukan sintren, seni sintren juga memasukkan lirik dari legenda romantis antara Selasih dan Sulandana, yang populer di kalangan penduduk Jawa.

BACA JUGA: Tari Thengul: Makna, Sejarah, Gerakan, Tata Rias, dan Tata Busana

Cerita Tari Sintren

Asal muasal kesenian Sintren dapat ditelusuri dari kisah Sulandono, anak sulung Ki Bahurekso, Bupati Kendal, dan perkawinannya dengan Dewi Rantamsari yang juga dikenal sebagai Dewi Lanjar. Sulandono jatuh cinta dengan Sulasih, gadis asal Desa Kalisalak. Namun, hubungan asmara mereka tidak mendapat restu dari Ki Bahurekso.

Menanggapi hal itu, Sulandono memutuskan untuk menjalani masa meditasi, sedangkan Sulasih memilih menjadi penari. Namun demikian, hubungan mereka berlanjut melalui cara supernatural. Dewi Rantamsari mengatur pertemuan mereka dengan memasukkan roh bidadari ke dalam tubuh Sulasih.

Pada suatu kesempatan, ketika Sulandono sedang bertapa, roh ibunya memanggilnya untuk menemui Sulasih. Alhasil, terjadilah pertemuan antara Sulasih dan Sulandono. Sejak itu, dalam setiap pementasan sintren, sang penari harus disuntikkan ruh bidadari oleh pawangnya, selama sang penari tetap dalam keadaan suci (perawan).

Prosesi dan Gerakan Tari Sintren

Sebelum tampil dan melakukan pementasan, penari menjalani masa puasa dan berjaga-jaga agar tidak berbuat dosa. Hal ini dilakukan agar roh dapat dengan mudah masuk ke dalam tubuh penari.

Pertunjukan Tari Sintren biasanya diawali dengan Dupan, sebuah ritual dimana para peserta berkumpul untuk berdoa bersama, memohon perlindungan Tuhan dari segala potensi bahaya selama pertunjukan.

Pertunjukan Tari Sintren terdiri dari beberapa segmen yaitu Paripurna, Balangan, dan Temohan. Bagian Paripurna melibatkan pawang yang memilih seorang individu yang akan menjelma menjadi Sintren, didampingi oleh empat pemain yang dikenal sebagai Dayang.

Awalnya, seorang penari yang terpilih menjadi Sintren akan tetap mengenakan pakaian biasa. Tahapan ini diawali dengan membaca mantra sambil meletakkan tangan calon penari Sintren di atas asap kemenyan. Selanjutnya tubuh penari diikat dengan tali.

Calon penari Sintren kemudian ditempatkan di dalam kandang ayam, beserta pakaian dan perlengkapan riasnya. Setelah semuanya disiapkan, maka akan di tandai dengan kurungan yang bergetar dan kurungan akan di buka.

Jika pemanggilan arwah Dewi Lanjar berhasil, saat sangkar dibuka, sang gadis lepas dari kekangan dan didandani dengan busana yang indah. Penari Sintren kini siap mementaskan tarian diiringi gending (musik tradisional Jawa).

Pada bagian Balangan, penonton ikut berpartisipasi dengan melemparkan benda ke arah penari Sintren. Ketika seorang penari terkena salah satu benda tersebut, mereka pingsan.

Pawang kemudian mendekati penari yang jatuh, melafalkan mantra, dan dengan lembut mengusap wajah mereka untuk memohon kembalinya roh bidadari, membiarkan penari melanjutkan pertunjukan.

Penonton yang tadinya melempar benda kini diberi kesempatan untuk menari bersama penari Sintren. Interaksi ini terjadi pada bagian Temohan, di mana para penari Sintren mendatangi penonton dengan membawa nampan, meminta tanda terima kasih sebagai balasannya.

Awalnya, tarian Sintren hanya dipertunjukkan pada saat-saat tenang pada malam bulan purnama, karena erat kaitannya dengan masuknya roh halus ke dalam diri para penari. 

Namun saat ini, tarian Sintren tidak lagi terbatas pada malam bulan purnama dan dapat dilakukan juga pada siang hari. Tujuannya telah diperluas untuk menghibur wisatawan dan menambah semarak dalam berbagai perayaan.

BACA JUGA: Tari Saman: Asal Usul, Keunikan, Gerakan, Iringan, Busana dan Pola Lantai

Tata Busana dan Tata Musik

Dalam pertunjukan tari Sintren, para penari mengenakan pakaian golek, yaitu pakaian tanpa lengan yang biasa digunakan dalam tarian golek. Mereka biasanya memakai kain jarit dan celana cinde di bagian bawah.

Di kepala penari Sintren biasanya memakai jamang, karangan bunga yang terbuat dari bunga melati yang diletakkan di sisi kanan, serta koncer di telinga kiri. Mereka menghiasi diri dengan aksesoris seperti ikat pinggang, sampur, dan kaos kaki hitam atau putih.

Salah satu ciri khas penari sintren adalah penggunaan kaca mata hitam yang berfungsi sebagai penutup mata. Hal ini karena penari Sintren menutup mata saat memasuki kondisi trance atau berubah, dan kacamata juga mempercantik penampilan mereka.

Tari Sintren juga memiliki aspek musik yang unik. Alat musik yang digunakan antara lain tembikar atau gembyung (alat musik tradisional Jawa) dan kipas bambu. Instrumen ini menghasilkan suara yang khas saat dipukul dengan cara tertentu.

BACA JUGA: Tari Tor Tor: Sejarah, Gerakan, Busana, dan Pola Lantainya

Jangan lupa untuk terus membaca postingan kita ya Sobat MI. Caranya mudah kok. Dengan klik disini. Rasakan manfaat, keasikan, dan keseruan mengenal indonesia melalui postingan di website dan akun social media mengenal indonesia.

Share this :

Leave a Comment