Buat kalian yang berkecimpung di dunia pers, pasti tau dong sosok satu ini, Tirto Adhi Soerjo.
Tirto Adhi Soerjo adalah Bapak Pers Nasional. Tak hanya itu, Tirto juga dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional loh.
Profil Tirto Adhi Soerjo

Tirto Adhi merupakan pria kelahiran 1880, Blora, Jawa Tengah. Saat kecil, Tirto memiliki nama lengkap Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo.
Keluarga Tirto Adhi Soerjo
Diketahui Tirto merupakan anak dari Raden Ngabehi Hadji Moehammad Chan Tirtodipoero. Kala itu, ayah Tirto berprofesi sebagai pegawai kantor pajak.
Ternyata, Tirto hanya beberapa tahun tinggal bersama orang tuanya.
Saat masuk Pendidikan Dasar, Tirto tinggal bersama kakeknya, R.M.T Tirtonoto yang merupakan bupati Bojonegoro.
Selepas meninggalnya sang kakek, Tirto pindah ke Madiun. Kali ini Tirto singgah di rumah sepupunya yaitu R.M.A Tirtonoto. Sepupunya tersebut adalah seorang bupati Madiun.
Tak lama kemudian, Tirto kembali lagi ke Rembang dan tinggal bersama kakaknya, R.M Tirto Adhi Koesoemo.
Pendidikan
Tirto menempuh pendidikan dengan penuh lika-liku loh sobat MI.
Singgah sana sini membuat pendidikan Tirto tak bermuara di satu wilayah.
Tirto menempuh pendidikan ELS (Europeesch Lagere School) di Bojonegoro. Namun karena dia kerap berpindah rumah, Tirto menamatkan pendidikan ELSnya di Kabupaten Rembang.
Sekitar umur 13 tahun, Tirto merantau ke Betawi untuk menempuh pendidikan di Hogere Burger School (HBS).
Selepas itu, tepatnya tahun 1893 Tirto melanjutkan pendidikannya di bidang kedokteran. Saat itu, pilihan Tirto jatuh ke School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA).
Saat bersekolah di STOVIA, Tirto justru lebih tertarik mendalami dunia jurnalistik. Alhasil, dia tidak menyelesaikan studi kedokterannya dan beralih ke dunia jurnalistik.
Perjalanan Karir Tirto di Jurnalistik
Karir jurnalistik Tirto bermula di surat kabar “Chabar Hindia Olanda”. Surat kabar ini terbit pada tahun 1888-1897.
Setelah Chabar Hindia Olanda mengalami kebangkrutan, Tirto pindah ke surat kabar “Pembrita Betawi” terbitan Batavia.
Pada waktu yang bersamaan, Tirto menjadi pembantu tetap di surat kabar “Pewarta Priangan” yang berlokasi di Bandung.
Tak lama kemudian, Pewarta Priangan tutup. Akhirnya Tirto kembali lagi ke Pembrita Betawi sebagai redaktur.
1 April 1902, Tirto diamanahi sebagai pemimpin redaksi menggantikan F Wiggers.
Wiggers adalah jurnalis Belanda sekaligus sosok jurnalis yang dikagumi Tirto.
Masih di tahun 1092, Tirto membantu penerbitan surat kabar “Warna Sari” sebagai asisten editor. Warna Sari merupakan surat kabar yang didirikan pada 1 Oktober 1901 dengan editor bernama Wiggers.
Pada awal 1903, atas anjuran Wijbrands, Tirto mengundurkan diri sebagai pemimpin redaksi Pembrita Betawi. Wijbrands menyarankan agar Tirto menerbitkan surat kabar sendiri.
Wijbrands adalah jurnalis Belanda sekaligus kepala redaksi surat kabar “Niews van den Dag”.
Karya Tirto Adhi Soerjo
Setelah merintis karir sebagai editor hingga kepala redaksi, Tirto mengambil langkah baru dengan menerbitkan surat kabar sendiri.
Kini, bisa dibilang coretan Tirto tentang kritikan dan pandangannya terhadap pola pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia telah melalang buana di mana-mana.
Berikut ini karya Tirto dalam dunia jurnalistik.
1. Soenda Berita
Merujuk Jurnal Sosiohumaniora bertajuk “Soenda Berita : Surat Kabar Mingguan Pertama Modal Milik Pribumi (1903 – 1904), surat kabar Soenda Berita didirikan oleh Tirto di Cianjur pada tahun 1903.
Surat kabar ini menjadi surat kabar pertama yang dibiayai, dikelola, disunting, dan diterbitkan oleh kaum pribumi.
Rubrik dalam Soenda Berita
Dalam pemberitaannya, surat kabar Soenda Berita banyak mengulas tentang kondisi masyarakat Sunda dan Jawa. Terutama tentang peranan perempuan di dalam rumah tangga. Soenda Berita mengajarkan perempuan harus memiliki etika dan tata krama yang baik.
Selain itu, artikel yang sajikan dalam Soenda Berita adalah berita ekonomi, kesehatan, hukum, ilmu pengetahuan, politik, dan pendidikan.
Disamping itu, Soenda Berita juga menuturkan tentang pengetahuan pertanian, perkebunan, hingga fotografi.
2. Medan Prijaji
Pada 1 Januari 1907 Tirto kembali mendirikan koran mingguan yang diberi nama Medan Prijaji.
Medan Prijaji selangkah lebih maju dari pendahulunya Soenda Berita.
Jika Soenda Berita lebih berperan sebagai luapan pemikiran Tirto dan secuil kritikan kepada aparat kolonial, Medan Prijaji lebih sebagai medan perang Tirto dalam menuntaskan penindasan umat pribumi.
Kontribusi Surat Kabar Medan Prijaji
Surat kabar Medan Prijaji memiliki semboyan yaitu “swara oentoeq sekalian radja-radja bangsawan asali, bangsawan pikiran, prijaji-prijaji dan kaoem moeda dari bangsa priboemi serta bangsa jang dipersamahken dengannja di seloeroeh Hindia-Olanda”.
Melalui semboyan itu bisa disimpulkan bahwa Medan Prijaji adalah surat kabar yang dominan mengulas tentang politik.
Medan Prijaji berani menyuarakan kritikan pedas bagi pemerintah kolonial.
Selain itu, Medan Prijaji tak hanya menyuarakan ketidakadilan atau kebijakan yang merugikan publik. Namun, juga terjun langsung menangani kasus-kasus yang menimpa orang kecil.
Tirto memang sangat berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Kritikan kepada pemerintah kolonial Belanda itu dikemas dalam bentuk cerita pendek.
Tokoh Penyokong Medan Prijaji
Berkembangnya Medan Prijaji, tentu tidak pernah lepas dari dukungan pihak luar.
Diketahui, surat kabar Medan Prijaji disponsori oleh Bupati Cianjur, R.A.A Prawiradiredja dan saudara ipar Tirto, Pangeran Oesman Sjah.
Selain itu, anggota Budi Utomo pun turut berkontribusi dalam mengembangkan Medan Prijaji. Dia adalah Hadji Mohammad Arsad.
Dalam Medan Prijaji, Arsad berperan sebagai administratur.
Rubrik Surat Kabar Medan Prijaji
Medan Prijaji terbit setiap hari Jumat. Surat kabar berukuran 12,5×19,5 cm ini dicetak di percetakan Khong Tjeng Bie, Pancoran, Batavia.
Secara umum, rubrik yang ada di surat kabar Medan Prijaji adalah mutasi pegawai, salinan Lembaran Negara dan pasal-pasal hukum, cerita bersambung, iklan, dan surat-surat.
Medan Prijaji Ditutup
23 Agustus 1912, Medan Prijaji ditutup. Alasan ditutupnya Medan Prijaji antara lain karena terlilit hutang, kasus yang dihadapi Tirto, dan intervensi dari pemerintah Hindia Belanda.
Tirto pernah dituduh menipu sejumlah orang yang berhimpun di Vereeniging van Ambtenaren bij het Binnenlandsch Bestuur (Perhimpunan Amtenar Pangreh Praja).
3. Soeloeh Keadilan
April 1907, Tirto meluncurkan surat kabar bertajuk “Soeloeh Keadilan”.
Soeloeh Keadilan adalah surat kabar saudara muda Medan Prijaji. Surat kabar ini sama-sama menyajikan berita tentang masalah hukum.
4. Poetri Hindia
1 Juli 1908, Tirto menggagas berdirinya Poetri Hindia. Dalam mengembangkan Poetri Hindia, Tirto mendapat dukungan dari R.T.A Tirtokoesoemo.
Poetri Hindia merupakan surat kabar pertama yang diperuntukkan bagi kaum perempuan, dikelola perempuan, dan untuk perempuan.
Dalam susunan redaksi, tercantum dalam Poetri Hindia Nomor 1 Tahun ke-3, 1910, berjajar srikandi yang mengelola Poetri Hindia.
Srikandi tersebut meliputi R.A Tjokro Adikoesoemo (Cianjur), R.A Hendraningrat (Tangerang), Raden Fatimah (Bogor), Siti Habiba (Bogor), S.N Norhar Salim (Bukittinggi), juga R.A Singodimedjo (Yogyakarta).
Surat kabar Poetri Hindia bernaung di bawah perusahaan N.V. Javasche Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfbehoeften “Medan Prijaji”.
Apresiasi untuk Poetri Hindia
Poetri Hindia pernah mendapat penghargaan dari Ratu Emma.
Ratu Emma adalah permaisuri almarhum Raja Willem III atau ibunda penguasa Kerajaan Belanda, Sri Ratu Wilhelmina.
Penghargaan Ratu Emma dilatarbelakangi tentang apa yang disuarakan di dalam Poetri Hindia yaitu emansipasi perempuan.
Keistimewaan Surat Kabar Poetri Hindia
Surat kabar Poetri Hindia pertama kali terbit pada 1 Juli 1908.
Biasanya, surat kabar ini terbit dua kali dalam sebulan. Dalam setiap edisi, Poetri Hindia menerbitkan 10-15 halaman.
Poetri Hindia memiliki banyak keistimewaan jika dibandingkan dengan koran lainnya.
a. Rubrik yang Diterbitkan
Rubrik yang diterbitkan Poetri Hindia cukup berbeda dengan surat kabar lainnya.
Surat kabar Poetri Hindia lebih merujuk pada rubrik cerita pendek, hikayat, perempuan Hindia, pemeliharaan anak, perawatan kecantikan dan hiburan, serta unggah-ungguh berkeluarga.
b. Bahasa yang Digunakan
Poetri Hindia menggunakan bahasa Melayu lingua franca, bahasa bangsa-bangsa terprentah. Namun, untuk beberapa tulisan Tirto tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu.
Peran Tirto Adhi Soerjo
Tirto cukup berperan penting dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia loh sobat MI.
Tahun 1906, Tirto membentuk Sarekat Prijaji (SP).
Dua tahun kemudian, Tirto dicetuskan sebagai anggota Budi Utomo cabang Bandung.
Pada tahun 1909, Tirto berselisih paham dengan sejumlah petinggi Budi Utomo. Selepas perselisihan itu, Tirto menggagas Sarekat Dagang Islam (SDI) di Kota Bogor dan Batavia.
1912, SDI Tirto berkolaborasi dengan Samanhudi dan menggagas AD/ART laskar keamanan bernama Rekso Roemekso.
Setahun kemudian tepatnya 1913, SDI diubah nama menjadi Sarekat Islam (SI) oleh H.O.S Tjokroaminoto.
Masa Pahit Tirto Adhi Soerjo
Gemar melayangkan tulisan pedas kepada pemerintah kolonial, membuat Tirto harus berurusan dengan petinggi di sana.
Hukuman yang diberikan kepada Tirto pun tak tanggung-tanggung yaitu pengasingan diri di luar Pulau Jawa.
1. Diasingkan ke Lampung
Pada surat kabar Medan Prijaji edisi 1909, Tirto membongkar skandal politik yang melibatkan pejabat daerah Purworejo, A. Simon.
Simon adalah aspiran kontroler (calon pengawas) pemilihan kepala Desa Bapangan, Purworejo, Jawa Tengah. Dia terciduk sebagai otak dalam politik licik pemilihan lurah Wedana Tjokrosentono.
Jagoan lurah yang dipilih warga setempat tidak keluar sebagai pemenang melainkan ditangkap dan diberi hukuman. Sementara Wedana, yang tidak didukung warga keluar sebagai pemenang.
Kasus tersebut langsung ditulis oleh Tirto dalam surat kabarnya. Dalam tulisannya Tirto menyebutkan Simon adalah snotaap atau “monyet ingusan”.
Simon pun tak terima dengan tulisan yang diterbitkan Tirto. Alhasil, Simon menggugat Tirto.
Mengutip Dutch Culture in a European Perspective: Accounting for the Past 1650-2000 karya Willem Frijhoff dan Marijke Spies, 18 Oktober 1909 majelis hakim menjatuhkan hukuman pengasingan diri kepada Tirto.
Tirto diasingkan di Teluk Betung, Lampung selama dua bulan.
2. Diasingkan ke Maluku
Merujuk artikel bertajuk “R.M. Tirto Adhi Soerjo 1880-1918: Pelopor Pers Nasional (2006)”, tertanggal 17 Desember 1912, Tirto kembali diseret ke meja hijau dan diasingkan ke Maluku.
Tirto dikecam telah lancang mengkritik bupati Rembang dan mempublikasikan kritikannya di surat kabar.
Penghargaan yang Diterima Tirto Adhi Soerjo
1. Bapak Pers Nasional
Tahun 1973, pemerintah orde baru melalui Keputusan Menteri Penerangan/ketua Dewan Pers menganugerahkan gelar “Bapak Pers Nasional” kepada Tirto.
Penghargaan tersebut merupakan hasil kerja keras Tirto dalam mendirikan Medan Prijaji. Tirto berhasil menyuarakan aspirasi dan ketidakadilan sikap pemerintah kolonial terhadap kaum pribumi.
Baca Juga : Selain Tirto Adhi, Ini Dia Tokoh Pers Indonesia!
2. Pahlawan Nasional
Saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tepatnya 10 November 2006, Tirto mendapatkan penghargaan baru sebagai pahlawan nasional.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 85/TK/2006 tertanggal 10 November 2006, Tirto disahkan sebagai Pahlawan Nasional.
Penghargaan tersebut diberikan pada saat masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Itu dia profil Bapak Pers Nasional kita, Tirto Adhi Soerjo. Sekarang udah tau kan gimana sepak terjang dan kontribusinya terhadap dunia jurnalistik Indonesia.
Dari Tirto kita belajar, sebagai jurnalis kita harus memiliki integritas dan prinsip. Jangan pernah goyah mengungkapkan hal yang tabu dan menggali kembali apa yang seharusnya diketahui publik.
Jangan lupa untuk terus membaca postingan kita ya sobat MI. Caranya gampang kok dengan klik sini. Rasakan manfaat, keasikan, dan keseruan mengenal Indonesia melalui postingan di website dan akun sosial media Mengenal Indonesia.
Referensi:
Muhidin M. Dahlan dan Iswara N. Raditya. 2008. Karya-karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo. Yogyakarta: I:BOEKOE
Yuniadi, Agusmanon. 2012. Soenda Berita : Surat Kabar Mingguan Pertama Modal Milik Pribumi (1903-1904). J Sosiohumaniora 14(2): 132-141