Mengenal Indonesia

Kemandirian Perempuan Berkaitan dengan Perceraian

Share this :

Sumber Foto : Habib Dadkhah

    Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral menurut banyak orang. Di Indonesia, pernikahan tidak terpisahkan dari urusan agama dan adat istiadat. Berdasarkan UU NO.1 tahun 1947 tentang pernikahan bahwa ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan menjadi pasangan hidup, yakni suami dan istri dengan tujuan membangun keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan abadi sesuai Ketuhanan Yang Maha Esa.

 

       Dalam pernikahan belum tentu berujung bahagia sampai maut memisahkan. Perceraian seringkali tidak terhindarkan dalam pernikahan dengan berbagai alasan. Bahkan, angka perceraian meningkat setiap tahunnya.

 

   Jumlah Perceraian di Indonesia Tahun 2015-2018

   

     Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), 2019 (Ardhi,2016).      

 

 Relasi antara suami dan istri dalam pernikahan seharusnya setara. Namun, di Indonesia seringkali suami dianggap pihak yang lebih dominan dan hal itu dianggap wajar oleh kalangan patriarki. Oleh karena itu, masih banyak ditemukan suami yang tidak berkontribusi dalam melakukan pekerjaan domestik rumah tangga seperti memasak, membersihkan rumah, mencuci piring, mencuci baju, dan sebagainya. Bahkan, mengasuh anak menjadi tanggung jawab istri sepenuhnya (Siregar, 2019). Allah berfirman dalam surah An-Nisa ayat 34 yang artinya:

 

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, dan karena mereka memberi nafkah sebagian dari harta mereka” (Q.S An-Nisa: 34).

 

Ayat di atas menegaskan bahwa semua pekerjaan rumah tangga merupakan kewajiban atau tanggung jawab dari seorang suami. Seorang suami wajib memberi nafkah kepada keluarganya. Nafkah adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, baik bersifat materi maupun ruhani. Dari segi materi, seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Maka seorang istri berhak mendapatkan nafkah tersebut tanpa ada kewajiban untuk mengelola, mengolah, dan mengurusnya. Jadi diibaratkan, seorang istri hanya tinggal membuka mulut dan seorang suami memiliki kewajiban untuk menyuapi makanan ke mulut istrinya. Seorang istri tidak berkewajiban untuk belanja bahan mentah, memasak, dan mengolah sampai menghidangkannya. Semua hal itu merupakan kewajiban seorang suami. Apabila seorang suami tidak mampu melakukannya, maka tetap tidak ada kewajiban bagi seorang istri untuk melakukannya. Bahkan, seorang suami harus menyewa pembantu atau pelayan untuk membantu urusan rumah atau urusan dapur (saefullah, 2017)

Faktanya, kita masih sering melihat sedikitnya peran seorang suami dalam mengurus domestik rumah tangga. Hal itu memaksa seorang istri untuk tinggal di rumah dan melepaskan pekerjaan atau karier agar lebih fokus dalam pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak. Padahal seharusnya seorang istri bisa membantu dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan bekerja. Akhirnya, seorang istri akan bergantung atau tidak mandiri secara finansial kepada suami, yang mengakibatkan semakin dominannya posisi seorang suami dalam rumah tangga dan berdampak tidak baik, seperti kekerasan rumah tangga.

 

Kekerasan Rumah Tangga

 

Ketidakseimbangan peran antara suami dan istri dalam rumah tangga, yang mana suami lebih dominan untuk memenuhi kebutuhan ataupun istri bergantung finansial kepada suami, mengakibatkan potensi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Saat ini, kekerasan dalam rumah tangga masih sering terjadi di Indonesia dan  menjadi permasalahan yang rumit.

Dikutip dari Kompas, Komisi Nasional Perempuan mencatat angka kasus kekerasaan terhadap perempuan sebanyak 259.150 kasus, dimana kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berada pada posisi pertama, yakni sebanyak 5.784 kasus.

Ironisnya, banyak istri yang bertahan dalam pernikahan, meskipun dibayangi oleh kekerasan dengan mempertimbangkan status sosial di masyarakat. seorang perempuan yang berstatus janda sering dipandang negatif atau rendah di masyarakat. kemudian, dalam ajaran agama dan budaya Indonesia mengajak istri untuk mempertahankan pernikahan dengan harapan suami dapat berubah seiring waktu. Sementara, dalam budaya kalangan patriarkis, kegagalan dalam rumah tangga kerap dilihat dari kesalahan istri. Selain itu, faktor ketergantungan finansial istri kepada suami menjadi alasan untuk mempertahankan rumah tangga. Mirisnya lagi, apabila sudah memiliki anak-anak yang seharusnya mendapatkan kasih sayang (affection) dari kedua orang tua. persoalan tersebut menjadi lebih krusial. Menjadi seorang ibu tunggal bukan peran yang mudah, apalagi seorang ibu yang tidak bekerja. Seorang ibu harus berperan dua (double role) sekaligus, yaitu menjadi ayah sebagai tulang punggung keluarga yang mencari nafkah dan ibu yang mengurus rumah dan mengasuh anak.

Seharusnya secara hukum ibu tunggal tidak harus membiayai kebutuhan anak-anaknya. Berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1947 pasal 41 dan 45 tentang pernikahan yang mengatur perlindungan pada anak pasca perceraian menyebutkan bahwa seorang ayah harus bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak hingga anak kawin atau sekurang-kurangnya pada usia 21 tahun, yang mana sudah dewasa dan bisa mengurus diri sendiri. Sayangnya, dalam faktanya di masyarakat banyak seorang suami yang tidak bertanggung jawab atas kesejahteraan hidup anak pasca perceraian.  

 

Perempuan Mandiri dan Perceraian

 

Seperti dikutip dalam situs berita Independet, berdasarkan studi yang dilakukan the Oxford-based European Sociologivcal Review bahwa apabila perempuan bekerja tiga kali lebih besar, kemungkinan ia mengajukan perceraian dari pada perempuan yang tidak bekerja. Alasannya, perempuan-perempuan yang bekerja merasa lebih berdaya dan tidak ingin diperlakukan tidak adil dalam rumah tangga. 

 

Perempuan yang bekerja biasanya adalah perempuan-perempuan yang handal dalam menghadapi permasalahan di tempat kerja dan pintar dalam menyelesaikan masalah-masalah yang datang, salah satunya pemasalahan rumah tangga yang  tidak bisa ditoleransi.

Kemudian, istri yang tidak bergantung secara finansial kepada suami akan lebih berani untuk bertindak dalam pernikahan yang dijalani, terutama apabila terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perempuan yang mandiri mempunyai kepercayaan diri yang lebih tinggi dalam mengatasi pemasalahan yang datang pasca bercerai, seperti saat menjadi orang tua tunggal dapat menafkahi diri sendiri dan anak-anaknya. Perempuan yang mandiri akan cenderung tidak khawatir dalam segala hal, salah satunya ketika terjadi perceraian dan tidak memiliki pasangan. Ia tidak khawatir akan kesepian karena ada banyak teman-teman sepergaulan dan rekan kerja. 

Seorang perempuan akan memiliki pandangan yang berbeda dalam pernikahan, apabila terpengaruh feminisme. Gerakan feminisme menyetujui dengan pembebasan perempuan dari segala pekerjaan domestik rumah tangga yang dapat menghambat perempuan dalam bekerja atau berkarir. Oleh karena itu, prinsip kesataraan dapat mempengaruhi tindakan dan pikiran seorang perempuan dalam menjalankan kehidupan rumah tangga secara kritis.

Maka, suami istri dalam menjalin rumah tangga harus memiliki peran yang setara ataupun tidak ada satu yang lebih dominan agar terciptanya kelanggengan. Suami bekerja untuk mencari uang untuk menafkahi keluarga dan istri memiliki hak yang setara dalam menggunakan uang yang dihasilkan suami. Kemudian, seorang suami juga harus tetap membantu urusan pekerjaan domestik rumah tangga (Siregar, 2019)

 

Posisi yang Setara antara Suami dan Istri

 

       Kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam ajaran Islam adalah setara. Tidak ada yang menghalangi beban sosial antara laki-laki dan perempuan dalam kebaikan publik bagi keluarga dan masyarakat. Sama seperti kehidupan rumah tangga dalam bentuk hubungan suami dan istri. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 187, yang artinya:

 

“Mereka (para istri) adalah pakaian bagi kamu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka”.

Menurut kitab Tafsir Jalalain, kata “pakaian” yang tercantum di dalam ayat di atas menjadi perumpamaan bahwa hubungan antara suami dan istri saling bergantung dan saling membutuhkan. 

Konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan juga ditemukan pada firman Allah SWT dalam QS Al-Imran ayat 195, yang artinya:

“Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, karena sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain”.

Ayat di atas menegaskan bahwa Allah SWT tidak membedakan perlakuan-Nya terhadap laki-laki atau perempuan. Keduanya mendapat penilaian yang sama secara adil dari Allah SWT sesuai dengan amal yang dikerjakan mereka.

       Pada pasal 57 dalam Piagam Keluarga Islam yang dikeluarkan oleh Komite Islam Internasional untuk Perempuan dan Anak (IICWC) menjelaskan bahwa tidak ada persaingan atau kontradiksi antara suami dan istri. Suami dan istri saling terintegrasi, berkoordinasi, dan bekerja sama dalam menjalankan rumah tangga. Pada pasal yang sama juga menyatakan, bahwa setiap bagian dari pasangan suami istri adalah pelengkap untuk bagian yang lainnya. Keduanya saling menyempurnakan bagi pasangannya dan bertanggung jawab dalam pernikahan dan kehidupan sosialnya.

       Menurut IICWC menjelaskan, bahwa hubungan antara suami dan istri harus berdasarkan pada konsultasi dan kesepakatan bersama. Oleh karena itu, prinsip musyawarah sangat penting dalam menjalankan rumah tangga yang Islami. Prinsip ini menjadi bagian dari menghormati akal pikiran dan pilihan-pilihan pribadi yang dimiliki suami ataupun istri. Musyawarah diterapkan suami dan istri, seperti dalam penyapihan anak sebelum umur dua tahun. Keduanya bermusyawarah dan sepakat menentukan keputusan dengan melihat kemaslahatannya.

       Selain itu, konsep kesetaraan antara suami dan istri dalam ajaran Islam, juga berlaku dalam urusan aset keuangan. Maksudnya, istri memiliki hak yang sama dalam aset keuangan seperti suami. Istri berhak memiliki seluruh jenis kekayaan, seperti properti, real estate, harta-harta bergerak, dan uang tunai.

       Pada pasal 57 dalam Piagam Keluarga Islam yang dirumuskan IICWC menyebutkan bahwa istri memiliki hak untuk melakukan berbagai jenis transaksi sesuai yang ditetapkan syariat atas harta yang dimilikinya. Istri bisa menjual, membeli, menukar, berwasiat, memberi hadiah, dan pinjam meminjamkan harta. Tindakan transaksinya sah berdasarkan keinginan sendiri dan tidak bergantung pada persetujuan ayah, saudara laki-laki, maupun suaminya. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS An-Nisa ayat 32, yang artinya:

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah SWT kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. Karena bagi orang laki-laki ada bagian yang dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Sasongko, 2018)

     Kesetaraan posisi antara suami dan istri juga bisa dibangun dalam manajemen keuangan, manajemen waktu, manajemen pekerjaan, dan manajemen rumah secara terbuka dan transparan, tidak membatasi peran, dan tidak melakukan subordinasi baik suami atau istri.

      Dalam mewujudkan kesetaraan posisi antara suami dan istri, maka tidak boleh melakukan labelisasi atau stereotype, tidak melakukan kekerasan kepada suami atau istri atau anak, serta tidak memaksa beban kerja ganda kepada suami atau istri (Widiyarti, 2019)

 

Dampak dari Kesetaraan Suami dan Istri

 

Kerjasama peran suami dan istri dalam rumah tangga menjadi syarat terjadinya pelaksanaan fungsi keluarga. Perencanaan bersama antara suami dan istri dalam menjalankan tugas keluarga akan menjadi ringan, jika dikerjakan dengan ikhlas dan tulus.

 

Kesetaraan posisi antara suami dan istri menjadi fondasi dalam mewujudkan ketahanan keluarga. Kesetaraan posisi dapat dilakukan dengan pembagian peran suami dan istri dalam mengerjakan urusan domestik rumah tangga, seperti pengasuhan anak.

Ketahanaan keluarga dikaitkan dengan kecukupan dan kesinambungan akses terhadap pendapatan dan sumberdaya, terutama dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti kecukupan terhadap pangan, air bersih, pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan, berpartisipasi di masyarakat, dan integrasi sosial.

Kesetaraan peran dan kerjasama antara suami dan istri dalam rumah tangga akan membuat tujuan rumah tangga tercapai lebih sistematis, terencana, dan efektif (Widiyarti, 2019)

                                  

     DAFTAR PUSTAKA

Siregar, U. (2019, Agustus 24). Apakah Independensi Perempuan Berkolerasi Dengan Perceraian? Dipetik Juni 25, 2020, dari dw:https://www.dw.com/id /apakah-independensi-perempuan-berkolerasi-dengan-perceraian/a-49616886

Saefullah, s. (2017). Pekerjaan Rumah Tangga, Milik Istri ataukah Suami? Dipetik Juni 25, 2020, dari islampos: https://www.islampos.com/ pekerjaanrumahtangga-milikistri-ataukah-suami- 13784/

Ardhi, Y. (2016, oktober 3). Angka Perceraian Setiap Tahun Meningkat. Dipetik Juni 25, 2020, dari republika: https://republika.co.id/berita/  oeh3u1314/angka-perceraian- setiap-tahun-meningkat

Sasongko, A. (2018, November 16). Memahami Kesetaraan Suami-Istri. Dipetik Juni 25, 2020, dari republika: https:// republika.co.id/berita/pia9f7 13/ memahami-kesetaraan-suamiistri-part2

Widiyarti, Y. (2019, oktober 15). Pentingnya Kesetaraan Gender untuk Membangun Keluarga Bahagia. Dipetik Juni 25, 2020, dari gaya.tempo: https://gaya.tempo.co/read/ 1259886/pentingnya-kesetaraan-gender-untukmembangun-keluargabahagia/full&view =ok

 

Share this :

Leave a Comment